Mahkamah Konstitusi Buat Sejarah Baru Dengan Menghapus Ketentuan Presidential Threshold

Jakarta.Panjinasionalnews.com.-Di era Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto ini,ada momen bersejarah terkait aturan penyelenggaraan pesta demokrasi Pilpres.Karena Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden 20 persen. Pengumuman ini diumumkan oleh Ketua MK Suhartoyo. “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua MK Suhartoyo.Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.(Dilansir dari Sumber Mahkamah Konstitusi/Sindonews/Tribuncom/Merdekacom).

Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Pemilihan presiden langsung pertama kali diatur melalui UU No. 23 Tahun 2003. Dalam pemilu 2004, ambang batas yang ditetapkan adalah 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional. Saat itu, tujuannya adalah untuk menghindari munculnya terlalu banyak calon presiden yang dapat memecah suara rakyat dan mempersulit proses pemilihan.

Pada Pemilu 2009, threshold ini dinaikkan menjadi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional melalui UU No. 42 Tahun 2008. Peningkatan ini bertujuan untuk menyederhanakan jumlah pasangan calon.

Namun, perubahan ini juga memunculkan kekhawatiran bahwa aturan tersebut terlalu membatasi partisipasi politik dan menghalangi munculnya calon alternatif.

Pemilu 2009 menjadi momen pertama penerapan threshold 20 persen. Hanya beberapa partai besar dan koalisi yang mampu mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

Dalam pemilu tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang diusung oleh koalisi partai besar berhasil memenangkan pemilu.

Hingga akhirnya, kini MK mengabulkan gugatan uji materi penghapusan treshold 20 persen itu pada Kamis (2/1). Gugatan itu diajukan empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk.

Mereka menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan itu diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

Pasal 222 UU Pemilu mengatur syarat capres-cawapres bisa maju Pilpres bila diusung partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya,” bunyi pasal tersebut.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan norma Pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK sekaligus memerintahkan agar putusan mereka dimuat dalam berita negara sebagaimana mestinya.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK, Jakarta.(***).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *